Membeli apartemen di kota besar sering dianggap sebagai solusi hunian di tengah mahalnya harga rumah tapak. Namun, banyak pembeli tidak menyadari kompleksitas hukum di balik kepemilikan mereka. Berbeda dengan rumah (Sertifikat Hak Milik/SHM), kepemilikan apartemen umumnya berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah bersama.
Status HGB ini memiliki batas waktu, biasanya 20-30 tahun, yang harus diperpanjang. Masalah muncul ketika masa HGB induk (milik pengembang) akan berakhir. Proses perpanjangan seringkali menjadi rumit dan mahal bagi para penghuni, terutama jika pengembangnya sudah tidak ada atau tidak kooperatif.
Isu krusial lainnya adalah status “tanah bersama”. Para pemilik unit secara kolektif memiliki tanah tempat apartemen itu berdiri, yang dikelola melalui Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Namun, dalam praktiknya, sering terjadi konflik antara penghuni dan pengembang mengenai pengelolaan, biaya service charge, dan transparansi dana.
Regulasi yang ada saat ini, yang diatur dalam UU Rumah Susun, dianggap sebagian pihak belum sepenuhnya melindungi konsumen. Banyak pembeli terjebak dalam posisi tawar yang lemah terhadap pengembang, baik dalam hal legalitas sertifikat, kualitas bangunan, maupun pengelolaan pasca-serah terima.
Wacana untuk merevisi aturan ini mengemuka, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih kuat bagi pemilik unit apartemen. Ini mencakup kejelasan status perpanjangan HGB, penguatan peran PPPSRS, dan sanksi yang lebih tegas bagi pengembang nakal. Tanpa reformasi ini, impian hunian vertikal bisa berakhir menjadi sengketa hukum yang berkepanjangan.

