Beras, sebagai makanan pokok miliaran penduduk Asia, mengalami lonjakan harga yang signifikan menyusul pembatasan ekspor oleh produsen utama seperti India dan dampak El Niño yang merusak panen di Vietnam dan Thailand. Kedua negara yang merupakan eksportir utama beras di dunia ini kini harus menyeimbangkan antara memenuhi permintaan ekspor yang tinggi dan menjaga pasokan domestik agar tidak terjadi kelangkaan.
Kenaikan harga beras memiliki implikasi sosial dan politik yang jauh lebih besar daripada komoditas lain. Bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, kenaikan harga ini dapat mengurangi daya beli secara dramatis, memicu krisis pangan domestik, dan meningkatkan kemiskinan yang ekstrem di perkotaan dan pedesaan.
Pemerintah di wilayah tersebut khawatir bahwa lonjakan harga ini dapat memicu kerusuhan sosial dan mengancam stabilitas politik, mengingat sensitivitas harga beras di tingkat akar rumput. Mereka telah mengambil langkah-langkah untuk menyubsidi petani, meningkatkan stok cadangan, dan memperketat pengawasan terhadap spekulasi harga di pasar untuk meredam kekhawatiran publik.
Namun, kebijakan intervensi ini sering kali bertentangan dengan kepentingan petani yang ingin memaksimalkan keuntungan dari harga ekspor yang tinggi, menciptakan dilema kebijakan yang kompleks antara melindungi produsen dan konsumen. Perdagangan beras ilegal antar negara juga meningkat seiring dengan perbedaan harga yang mencolok.
Jangka panjangnya, krisis ini mendesak Asia untuk berinvestasi lebih besar dalam ketahanan pangan melalui teknologi pertanian tahan iklim, diversifikasi tanaman, dan sistem irigasi yang lebih efisien. Ketergantungan global pada segelintir eksportir utama beras harus dikurangi untuk mencegah terulangnya guncangan harga pangan di masa depan.

