Geneva – Dengan laju mitigasi iklim yang dianggap terlalu lambat, komunitas ilmiah dan kebijakan semakin serius mempertimbangkan Geoengineering Iklim—intervensi skala besar pada sistem bumi untuk melawan efek perubahan iklim. Namun, potensi manfaat teknologi ini dibayangi oleh risiko lingkungan yang tidak diketahui dan dilema etis serta geopolitik yang masif.
Dua bentuk utama Geoengineering yang sedang dieksplorasi adalah: Solar Radiation Management (SRM) dan Carbon Dioxide Removal (CDR).
- SRM: Melibatkan pemantulan sebagian kecil sinar matahari kembali ke luar angkasa, seperti dengan menyuntikkan aerosol ke stratosfer. Tujuannya adalah untuk mendinginkan bumi secara cepat. Namun, kekhawatiran utamanya adalah penghentian tiba-tiba (termination shock) yang dapat menyebabkan pemanasan yang sangat cepat, dan potensi perubahan pola cuaca regional (misalnya, monsun), yang dapat memicu konflik internasional.
- CDR: Berfokus pada penghilangan CO2 dari atmosfer dan penyimpanannya secara permanen, seperti melalui Direct Air Capture (DAC)—mesin besar yang menyaring CO2 dari udara. CDR dianggap sebagai solusi yang lebih aman dan alami (mirip dengan penghijauan), tetapi biayanya sangat tinggi dan membutuhkan energi serta lahan yang besar untuk mencapai skala yang signifikan.
Isu sentral Geoengineering adalah tata kelola global. Karena keputusan untuk menyuntikkan aerosol di satu negara dapat memengaruhi cuaca di negara lain, tidak ada negara tunggal yang harus memiliki kekuasaan untuk melakukan geoengineering secara sepihak. Ini adalah tantangan geopolitik yang belum terpecahkan yang membutuhkan perjanjian internasional yang kompleks.
Secara etis, geoengineering menghadapi kritik sebagai “moral hazard”—yaitu, pengetahuan bahwa kita memiliki geoengineering dapat mengurangi insentif politik untuk mengurangi emisi secara drastis, yang merupakan solusi akar masalahnya.
Meskipun demikian, dengan target 1.5∘C yang semakin sulit dicapai, teknologi ini tidak lagi diabaikan. Geoengineering telah berpindah dari fiksi ilmiah menjadi perdebatan kebijakan yang kritis, memaksa dunia untuk menghadapi kenyataan pahit bahwa intervensi skala besar mungkin diperlukan, terlepas dari risiko yang melekat.